Banyak pakar bersepakat bahwa ekonomi digital Indonesia bakal menjadi raksasa di Asia dalam beberapa tahun ke depan. Pasalnya, ekonomi digital terus mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Namun di sisi lain, juga ada peluang yang perlu dimaksimalkan untuk menambah penerimaan negara. Peluang itu ada pada pajak digital.

Dilansir dari The Conversation, potensi dari pengenaan pajak terhadap produk dan layanan digital sangatlah besar. Setelah dibahas bersama oleh negara-negara peserta G20 tahun lalu, pajak digital berpeluang untuk dikenakan terhadap perusahaan multinasional yang punya produk dan layanan digital serta beroperasi di berbagai negara.

Besaran pajak penghasilan badan yang dapat dikenakan dapat mencapai 15 persen di setiap negara. Itu artinya, perusahaan e-commerce seperti Alibaba atau Amazon akan dikenai pajak sebesar 15 persen atas produk dan layanan mereka di Indonesia dan berbagai negara lain.

Selama ini, perusahaan kakap seperti mereka hanya dikenai pajak di kantor pusat mereka. Dan umumnya, banyak perusahaan yang memilih berkantor di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah.

Selain pajak penghasilan badan, juga ada pajak dari penjualan produk atau layanan digital di tiap negara. Itu berlaku jika perusahaan dapat menghasilkan lebih dari 10 persen pendapatan  mereka dari negara lain.

Selama ini, pemerintah sebatas mengenakan pajak pertambahan nilai untuk perusahaan digital. Termasuk perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Namun pajak itu hanya berlaku untuk perusahaan yang sanggup membukukuan minimal transaksi Rp 600 juta dan traffic 12.000 per tahun.

Dari 50 perusahaan digital yang dikenai pajak tersebut, pemerintah sanggup menghimpun penerimaan sebesar Rp 2 triliun. Itupun hanya berlaku mulai Juli 2020 hingga Mei 2021 lalu. Dengan penerapan pajak penghasilan badan dan pajak penjualan produk atau layanan digital, penerimaan negara dari ekonomi digital pun berpeluang meningkat pesat.