Finansial teknologi (fintek) dengan cepat berkembang masif di Indonesia. Fintek dipandang sebagai solusi terhadap masalah ekonomi masyarakat di negeri ini. Baik individu maupun pelaku usaha. Saat Bali Fintek Agenda, Oktober 2018, fintek telah diprediksi akan menjadi pilar penting bagi perekonomian di negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Namun, perkembangan fintek juga diiringi dengan munculnya risiko-risiko. Terutama bagi masyarakat dan pelaku usaha selaku konsumen atau pengguna, serta pemerintah selaku regulator. Sejumlah risiko inilah yang perlu dimitigasi dan dikelola dengan baik. Supaya ekosistem ekonomi digital di Indonesia terus berkembang menuju arah yang diharapkan

Berkaca dari Perkembangan Fintek di Negara Lain

Indonesia perlu belajar dengan Cina. Di negera berjuluk Tirai Bambu itu, fintek sempat berkembang secara masif sekitar 2010-an. Layanan peer-to-peer (P2P) lending dengan mudah memikat hati warga Cina karena kemudahan dalam mendapatkan pinjaman modal.

Namun sayangnya, pertumbuhan masif fintek di Cina pada akhirnya merugikan banyak pihak. Mulai muncul fintek yang melakukan fraud atau tindak penipuan. Juga muncul berbagai persoalan secara teknis yang berdampak pada kerugian cukup signifikan bagi konsumen.

Contoh lain dapat dijumpai di dua negara Afrika, Tanzania dan Kenya. Di kedua negara tersebut, fintek yang sempat berkembang pesat secara perlahan mulai kolaps. Itu disebabkan karena layanan digital microcredit (kredit mikro digital) di kedua negara tersebut macet. Banyak peminjam yang gagal mengembalikan dana karena buruknya analisis oleh pihak fintek.

Keruntuhan fintek di berbagai negara tersebut juga disebabkan oleh surutnya tingkat kepercayaan masyarakat setempat. Itu disebabkan akibat akumulasi pengalaman buruk dari masyarakat selama mengakses layanan fintek.

Peran Penting Pemerintah selaku Regulator

Untuk menjaga ekosistem ekonomi digital, pemerintah selaku regulator perlu untuk bersikap secara responsif. Pemerintah haram bertindak pasif karena itu akan berisiko pada munculnya banyak masalah baru.

Contoh nyatanya dapat dijumpai di Indonesia. Data yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Maret 2022 hanyat erdapat 102 fintek berizin di Indonesia. Padahal dua tahun sebelumnya, terdapat 164 fintech.

World Bank Group (WBG) dalam policy research paper-nya yang bertajuk Consumer Risks in Fintech mendorong regulator di negara berkembang untuk membangun kerangka regulasi yang solid terhadap fintek. Ini mencakup berbagai sektor layanan. Mulai P2P lending sampai crowdfunding. Di sisi lain, regulator juga harus terus mendorong literasi keuangan di masyarakat. Harapannya, supaya konsumen fintek semakin teredukasi dengan baik terhadap layanan yang mereka nikmati.